[Cerpen] Mimpi Buruk itu Relatif, Kawan

Bola matanya terbelalak.

Ia ditarik dari alam buaiannya secara paksa. Napasnya masih terengah; bukannya ia barusan ikut olimpiade, melainkan ia baru saja terlelap, mengistirahatkan syaraf-syaraf otaknya yang bekerja seharian penuh. Namun yang terjadi malah sebaliknya; syaraf itu dipaksa bekerja lagi–berpikir dalam apa yang mereka sebut bunga tidur, mimpi.

Gadis itu berusaha membuat napasnya naik-turun dengan teratur, istigfar terbisik dari bibirnya, peluh yang menetes dari keningnya ia seka dengan punggung tangannya. Matanya yang masih berkabut juga ia seka, ah, ternyata ketika ia melirik ke arah jam, masih pukul empat. Mau tidur lagi tanggung, mau bangun dilema, tahajud? Belum bisa, lagi kedatangan tamu bulanan, dia.

Kerongkongannya terasa kering, omong-omong.

Kaki-kakinya menjejak, mencoba keluar mengambil segelas air meski kepalanya masih agak pusing pasca terbangun paksa. Ketika pintu kamar terbuka, yang ia lihat adalah gulita–dan batallah niatnya pergi ke dapur. Takut ada putih-putih yang lewat.

Menggerutu kesal, ia kembali membaringkan diri di kasur nyamannya. Udara dingin akibat rinai hujan, dan sejujurnya, buaian angin membuatnya tergoda untuk melanjutkan lelapnya. Namun…

…ia teringat kembali akan mimpinya.

Sontak matanya terbuka kembali. Aih.
Baca lebih lanjut