[Cerpen] Menunggu

All that’s left is to…wait for the time to erase those feelings.

Aku terpaku di kursiku. Bergeming.

Tidak, tidak ada airmata yang jatuh kali ini. Aku sudah terlalu lelah untuk mengeluarkan substansi penuh perasaan itu; dan aku tidak berniat untuk mengeluarkannya lagi karena seorang pemuda yang sama. Sudah cukup. Sedih juga ada batasnya; dan aku percaya kalau aku sudah lama melampaui batas itu. Sekarang, semua terasa tumpul. Kosong. Kebas. Tidak ada yang bisa dirasakan sama sekali.

Aku hanya berpikir.

Benarkah begini?

Seorang perempuan tidak seharusnya mengambil kendali; kendatipun seberapa tidak mengertinya lelaki tersebut akan perasaannya sendiri, yang seharusnya dilakukan oleh seorang wanita adalah menunggu. Menunggu, menunggu, dan menunggu. Persetan dengan emansipasi wanita, toh persepsi orang-orang tidak mudah untuk diubah. Tidak pantas jika seorang wanita terlalu agresif dalam sebuah hubungan.

Terlebih, dalam sebuah hubungan yang telah berakhir. Baca lebih lanjut

[Cerpen] A Sudden Interruption

This is a story I wrote quite long time ago…  I think I’ll place it here, since it’s useless if no one read it. I know that my grammar is not perfect, but I’m trying my best to write things in English.

Comments will always be appreciated 😀 Anyway, this is the one from my old website, I just repost it here.


A Sudden Interruption
2010 (c) Devi Miranda

 

It had been five minutes since that girl took a seat and staring at the window; where the rain poured down heavily. When her order, which was a mug of hot chocolate, came to her table, all that she did was watching the smoke of the hot liquid faded slowly to the air. Well, not that she care about that, her mind wasn’t even in that cafe, she guessed.

She knew it well; she knew where her mind flew to. It was that picture she saw in Facebook, right? Yeah. That was it. She became all melancholy like this just by a picture, and she wondered what would happen if she had to look at the real ones. That would be a mess, she sworn upon her tongue.

“…guess it can’t be helped…” she whispered in such a low voice, and that came out blurry, thanks to the sound of the rain, “…they’ve forgotten me, and I can’t do anything but being annoyed by the fact. How fool.”

“And the thing that makes you a real fool is you regret and came here to sobs.”

She nearly jumped out of her chair as she heard that familiar voice.

‘Oh, please. Not him. At this state…’

She passed a glance out to her back and regretted it at once. Shit. That was him. So he knew it. He HAD known in at the first place.

“…it’s none of your business,” that girl flushed a bit by the fact that another guy took a seat across her and greeted her in a smug smile. “…stop it.”

“Stop what?” this boy grinned. “Stop pretending that I didn’t know everything or stop bothering your-so-called-peace?”

“Both,” the wavy-haired girl answered sarcastically. “And stop acting that casual in front of me while you know how much I hate you.”

“Oh, my bad,” again, that grin. This girl really, really hoped that she could take her hot chocolate and poured it all once to that annoying face, along with the mug. “But I hate you as well, and seeing you annoyed does make me happy.”

“…you are the worst.”

“I am the worst,” he smiled cheekily. “Now, before your urge to throw me with that hot, sweet liquid get bigger, let’s get to the point.”

He changed his face. Now, the brown-haired girl could see the worry lines—or maybe angry lines—appear in his face.

“What?” not that she scared, really. She’s just… unable staring to that serious face, so she threw her face away.

“You actually love me, don’t you?”

And that girl could feel as if her heart stopped beating.

fin

.

[Cerpen] Sekarang, Apa yang Harus Dilakukan?

Gadis itu melirik berkali-kali ke telepon genggamnya. Tidak ada gunanya, tentu saja. Seingatnya, sejak pesan terakhir yang ia kirim kepada orang yang disayanginya itu, tak satupun dering terdengar di telinganya. Tak ada pesan balasan, tentu saja.

Ia telah berusaha untuk tetap optimis. Ini bulan Ramadhan. Orang yang disayanginya itu mungkin tertidur lagi setelah terbangun pada jam 11 pagi. Atau, habis pulsa. Atau mungkin dia sedang tadarus setelah mandi untuk menunggu Dzuhur. Setelah selesai, dia lanjut tadarus untuk Ashar.

Ha. Tidak mungkin.

Baca lebih lanjut

[Cerpen] Hari Ibu v.s. Mother’s Day

“Kasih kado apa ke Ibu-mu, Ran?”

Rani, siswi kelas X dengan rambut ikal sebahu itu meletakkan tasnya sembari mengernyitkan dahi. Pertanda yang seakan berkata, ‘Maksud lo?’ atau ‘Perasaan Ibu-ku enggak ulang tahun deh…’ atau… Ah, intinya, dia bingung dengan pertanyaan temannya, Novita. Jelas dia bingung, ini masih pagi dan dia baru datang ke sekolah. Untuk apa dia mendapat pertanyaan seperti itu?
Baca lebih lanjut

[Cerpen] Mimpi Buruk itu Relatif, Kawan

Bola matanya terbelalak.

Ia ditarik dari alam buaiannya secara paksa. Napasnya masih terengah; bukannya ia barusan ikut olimpiade, melainkan ia baru saja terlelap, mengistirahatkan syaraf-syaraf otaknya yang bekerja seharian penuh. Namun yang terjadi malah sebaliknya; syaraf itu dipaksa bekerja lagi–berpikir dalam apa yang mereka sebut bunga tidur, mimpi.

Gadis itu berusaha membuat napasnya naik-turun dengan teratur, istigfar terbisik dari bibirnya, peluh yang menetes dari keningnya ia seka dengan punggung tangannya. Matanya yang masih berkabut juga ia seka, ah, ternyata ketika ia melirik ke arah jam, masih pukul empat. Mau tidur lagi tanggung, mau bangun dilema, tahajud? Belum bisa, lagi kedatangan tamu bulanan, dia.

Kerongkongannya terasa kering, omong-omong.

Kaki-kakinya menjejak, mencoba keluar mengambil segelas air meski kepalanya masih agak pusing pasca terbangun paksa. Ketika pintu kamar terbuka, yang ia lihat adalah gulita–dan batallah niatnya pergi ke dapur. Takut ada putih-putih yang lewat.

Menggerutu kesal, ia kembali membaringkan diri di kasur nyamannya. Udara dingin akibat rinai hujan, dan sejujurnya, buaian angin membuatnya tergoda untuk melanjutkan lelapnya. Namun…

…ia teringat kembali akan mimpinya.

Sontak matanya terbuka kembali. Aih.
Baca lebih lanjut

[Cerpen] Bayangan Hijau

Gadis kecil itu bersembunyi di bawah meja guru di kelasnya. Kedua telinganya ia tutup rapat, mata coklatnya mengeluarkan tetesan-tetesan air. Kakinya menekuk, dan ia membenamkan kepalanya di antara kakinya.

Takut. Takut. Takut!

Gadis kecil itu takut! Dia melihat bayangan, bayangan yang turun dari atas pohon saat ia bermain tadi. Dia takut! Dia melihat bayangan hijau terang itu keluar dari sebuah benda yang menyerupai piring. Dia takut!

Baca lebih lanjut